Pagi ini begitu cerah. Awanpun seakan tak sanggup menutupi matahari yang sedang memancarkan sinarnya untuk menerangiku. Terus saja kulangkahkan kakiku dengan mantap menembus padatnya jalanan kota Tangerang, menuju tempatku menimba ilmu. Tiba-tiba handphoneku bergetar, tanda ada satu pesan masuk. Oh, rupanya pesan dari Andrew, kekasihku. Seulas senyumpun mengembang dari bibir mungilku.
“Nanti sepulang sekolah temani aku membeli buku, ya. Aku jemput di sekolah,” begitu bunyi pesannya.
Langsung saja aku mengiyakan dengan mengirim pesan balik kepadanya...
Aku dan Andrew satu gedung sekolah. Aku sekolah di SMK Bhakti Anindya, sedangkan Andrew mahasiswa di Perguruan Tinggi LEPISI. Kami satu gedung, oleh karena itu akupun bisa berkesempatan berkenalan dengannya saat ada acara pensi disekolah. Kesan pertama aku melihat Andrew, hmm... dia tampan, dia tinggi, dan kelihatannya dia itu cowok yang smart. Kalian percaya, kan, dengan love at first sight? Atau cinta pada pandangan pertama? Kalau aku, tentu saja aku percaya! Dan saat itu rasanya aku telah menjatuhkan hatiku pada Andrew di awal kita bertemu. Hingga akhirnya acara perkenalan itupun berlanjut, dan pada akhirnya kamipun menjadi sepasang kekasih sampai sekarang. Ah, mengingat Andrew selalu membuatku senyum-senyum sendiri. Dan tak terasa langkah kaki ini telah mengantarkanku sampai ke gerbang sekolah. Tuhan, semoga ilmu yang kudapat hari ini bermanfaat untukku...
Hari menjelang sore. Mataharipun sudah menyembunyikan diri di ufuk barat. Andrew tak kunjung menjemputku. Padahal langit sudah mulai gelap, seakan ingin menumpahkan airnya dalam bentuk hujan. Petirpun mulai memperdengarkan suaranya, yang membuat orang-orang segera berlari mencari tempat untuk berlindung. Tapi aku, aku masih berdiri mematung disini menunggunya. Terbesit rasa khawatir di benakku. Berulang kali aku mengecek layar handphoneku. Berulang kali pula nama Andrew tak tertera di layar itu. Aku hampir putus asa. Sampai akhirnya, lagu Everything milik Michael Bublé mengalun pelan dari handphoneku, tanda ada panggilan masuk. Refleks aku melihat layar handphone. Ah, akhirnya Andrew meneleponku juga.
“Halo, apa benar Anda teman atau kerabat dari saudara Andrew?” kata orang di seberang telepon dengan suara agak berat. Jelas ini bukan suara Andrew.
“Iya, benar. Anda siapa, ya?” sahutku.
“Saya dari kapolres Tangerang. Saudara Andrew mengalami kecelakaan hebat di depan sekolahnya dan telah meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sebaiknya Anda segera kemari.”
Seketika aku terduduk lemas di trotoar. Aku menangis diiringi turunnya titik-titik air dari langit. Ya Tuhan, apakah aku harus percaya dengan semua yang baru saja kudengar? Tidak. Aku harus segera ke rumah sakit. Aku harus segera memastikan kebenarannya. Dengan agak tertatih, aku mencoba bangkit. Kulangkahkan kakiku menembus derasnya hujan yang mengguyur kota Tangerang. Aku tak takut hujan, aku juga tak takut petir, yang aku takutkan hanyalah kehilangan Andrew.
Sesampainya di rumah sakit, aku segera berlari menuju ruang jenazah. Jantungku berdebar kencang, badanku bergidik hebat, kepalaku terasa berat dan sakit, seperti ada yang melempar batu ke kepalaku. Perlahan, kubuka kain yang menutupi kepala Andrew. Kini, ada sosok Andrew di depanku. Tapi bukan Andrew yang seperti biasanya. Andrew yang di hadapanku ini ialah Andrew yang terbujur kaku, yang lemah, yang bibirnya pucat, yang matanya terpejam, tapi kulihat senyumnya masih tersisa di wajah sendunya. Kugenggam jari-jemarinya yang dingin. Aku ingat, dulu jari-jemari inilah yang biasanya menuntun tanganku ketika belajar menyetir mobil. Jari-jemari ini jugalah yang biasanya memegangiku saat menyeberang jalan, dan yang biasanya mengusap air mata di pipiku saat menonton film sedih di bioskop. Namun kini, tangan itu kaku dan tak bisa lagi digerakkan walau hanya sekedar untuk membalas genggaman tanganku. Kututup lagi wajahnya dengan kain putih itu. Sungguh, sulit bagiku untuk percaya dengan kenyataan bahwa Andrew harus pergi secepat ini. Baru kemarin dia menemaniku ke Waterboom Lippo Cikarang, tapi sekarang dia telah terbang jauh meninggalkan aku dan dunianya. Tak terasa air mataku mengalir membasahi pipiku lagi, dadaku sesak oleh rasa hancur yang luar biasa. Aku tak tahan lagi. Sesegera mungkin aku melangkah pergi dan keluar dari ruangan itu.
Berat memang untuk mengikhlaskan kepergian seseorang. Mengikhlaskan itu memang terkadang sama halnya dengan mengingat hal yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Susah. Apalagi mengikhlaskan kepergian seseorang yang kita cintai, kita sayangi, yang telah menjadi bagian dari hidup kita, dan memberi kita banyak kenangan indah. Sungguh teramat susah. Andrew, namamu akan selalu melekat kuat di memori otakku. Kebaikanmu akan selalu kukenang. Dan cintamu akan kusimpan baik-baik di dalam hati yang terdalam. Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau dalam kehidupan ini, pastilah cinta yang akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang. Terima kasih atas semua kisah yang telah kau tulis bersamaku. Selamat jalan, kekasih. Semoga kau tenang di dalam keabadian...
By : Dina Yantika W.S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar